jump to navigation

Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi Februari 8, 2009

Posted by ikbal13 in 1.
add a comment

Pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari strategi pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan langkah yang jitu memiliki tingkat keberhasilan di negara-negara lain. Masyarakat dan aparat penegak hukum merupakan ujung tombak yang keberadaannya saling melengkapi satu sama lain. Masyarakat yang berdaya atau berperan dapat mengontrol, bahkan jika proses penegakan hukum lemah dam tidak dapat menghadapi kejahatan ini (korupsi), maka masyarakat dapat tampil ke depan untuk sementara mengambil alih tugas-tugas aparat penegak hukum, syaratnya masyarakat harus diberi ruang dan kesempatan luas untuk berpartisipasi melalui sistem dan tatanan yang demokratis dan transparan.
Meskipun aspek pemberdayaan itu sangat penting dalam proses dan strategi pemberantasan tindak pidana korupsi, namun itu semua harus dilakukan dalam batas-batas dan koridor hukum yang berlaku. Bentuk dan sifat partisipasi masyarakat dalam proses tersebut harus diselenggarakan secara demokratis dalam susunan yang menghargai nilai-nilai (norma) dan rasa kepatuhan serta keadilan, tanpa harus mengabaikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia.
Meskipun upaya pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan bagian dari upaya menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance), namun tidak berarti upaya penegakan hukumnya disubordinasi oleh aspek politik dan kepemerintahan. Meskipun pemberdayaan masyarakat itu sangat penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, namun titik tekannya harus terfokus pada penegakkan hukum berikut dengan lembaga-lembaga yang bertugas menangani masalah korupsi.
Semua pilar-pilar yang terkait dengan upaya dan proses penegakan hukum harus menopang dan memperkuat sehingga korupsi dapat ditekan ketitik yang dapat dikendalikan. Dengan demikian proses penegakan hukum merupakan rangkaian panjang dan saling terkait antar aspek yang saling mempengaruhi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pemerintah jangan sampai kehilangan dukungan dari masyarakat akibat ketidakseriusannya memberantas tindak pidana korupsi. Dengan alasan apapun pemerintah tidak boleh mengulur waktu untuk memberantas tindak pidana korupsi kelas kakap. Apabila pemerintah takut berhadapan dengan koruptor kelas kakap dan hanya mengadili atau memproses koruptor kelas teri, maka resikonya adalah kehilangan kepercayaan masyarakat dan menumbuhkan rasa ketidakpercayaan kepada pemerintah bahkan masyarakat akan berpikir bahwa pemerintah melindungi para koruptor kelas kakap.
Untuk melakukan sesuatu kita harus mengetahui terlebih dahulu apa sebab dan jenisnya. Begitu juga untuk memberantas tindak pidana korupsi, kita harus memahami dan mengerti apa saja jenis-jenis korupsi dan penyebabnya.
Korupsi dapat berakibat sangat besar baik secara ekonomi, politik, maupun sosial budaya dan hukum. Masyarakat banyak tidak menyadari bahwa perbuatan korupsi berakibat sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi masyarakat jarang dapat langsung merasakannya.
Masyarakat hanya berasumsi yang dirugikan oleh perbuatan korupsi adalah keuangan dan perekonomian negara, pada hal secara tidak langsung yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri.
Di bawah ini ada beberapa contoh dampak dari akibat yang ditimbulkan dari permasalahan korupsi, yaitu ditinjau dari dampak ekonomi, dampak politik, dampak pelayanan publik, dampak hukum dan dampak sosial budaya.
1. Dampak Ekonomi
Dampak dari sektor ekonomi dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
a. Bantuan pendanaan untuk petani, usaha kecil, maupun koperasi tidak pernah sampai ketangan masyarakat, yang artinya korupsi menghambat pembangunan ekonomi rakyat;
b. Harga barang menjadi mahal;
c. Sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir orang elit ekonomi dan elit politik saja;
d. Rendahnya upah buruh;
e. Produk petani Indonesia tidak dapat bersaing;
f. Korupsi membuat utang bangsa Indonesia menjadi banyak; dan
g. Korupsi mengurangi minat para investor untuk menginvestasikan uangnya atau modalnya di Indonesia.
2. Dampak Politik
Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tanpa memikirkan masyarakat kecil. Dampak dari perbuatan korupsi di dalam sektor ini, yaitu :
a. Korupsi menjadi sumber utama untuk membiayai aktifitas politik dan mempertahankan kekuasaan;
b. Hampir sebagian besar posisi elit politik dipegang oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang disebabkan karena pemilihan untuk memilih para elit politik tersebut tidak demokratis;
c. Korupsi yang sistemik membuat masyarakat tidak lagi mempercayai penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif;
d. Sistem politik yang dipegang oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab mengancam keabsahan pemerintah dan pada akhirnya berdampak pada produk hukum yang dibuat yang dianggap ilegal oleh masyarakat;
e. Lembaga negara yang dibentuk hasil politik akan tidak berjalan sebagaimana mestinya jika dipegang oleh orang-orang yang korup dan tidak bertanggungjawab; dan
f. Korupsi dapat menghancurkan integritas bangsa.
3. Dampak Pelayanan Publik
Akibat perbuatan para pejabat yang tidak bertanggungjawab dapat berakibat pada pelayanan publik yang kurang memihak pada masyarakat kecil. Dalam hal ini dampak dari perbuatan korupsi pada pelayanan publik, yaitu :
a. Pelayanan publik buruk, karena birokrasi tidak berorientasi pada pelayanan masyarakat kecil;
b. Semangat profesionalisme pegawai yang bersih dan jujur makin luntur; dan
c. Berubahnya fungsi-fungsi pelayanan publik.
4. Dampak Hukum
Hukum sebagai pilar untuk menekan laju pertumbuhan tindak pidana korupsi, malah dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan uang yang banyak atau dengan kata lain hukum dijadikan sebagai salah satu sarang dari perbuatan korupsi. Dampak-dampak dari perbuatan korupsi dibidang hukum, yaitu :
a. Banyak para aparat penegak hukum yang tidak bersih dikarenakan pada awalnya meraka melakukan pelanggaran hukum;
b. Hukum dijual belikan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, sehingga putusan yang dihasilkan menjadi tidak adil; dan
c. Menjadikan rakyat tidak percaya lagi pada mekanisme hukum yang dikarenakan mental para aparat penegak hukum sengat rendah.
5. Dampak Sosial Budaya
Perubahan lain dari perbuatan korupsi adalah perubahan paradikma atau cara pandang masyarakat itu sendiri, baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional, yang dulunya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang jujur dan ternyata sekarang semua itu berubah menjadi salah satu bangsa yang terkorup di dunia. Dampak-dampak dari korupsi dibidang ini adalah :
a. Korupsi yang bersifat sistematis menyebabkan masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek-aspek profesionalisme dan kejujuran;
b. Runtuhnya bangunan moral bangsa; dan
c. Perbuatan korupsi yang berkepanjangan akan menghilangkan harapan masa depan yang lebih baik.
Kemiskinan sebagai produk korupsi yang menimbulkan depresi masyarakat yang berkepanjangan.
Banyak cara atau penyebab terjadinya korupsi, baik dibidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial masyarakat yang ada disekitar kita, dan mereka yang melakukan perbuatan korupsi yang dikenal dengan koruptor tidak pernah merasa malu atau takut dalam melakukan perbuatan yang tercela itu.
Secara sosiologis Syed Hasein Alatas sebagaimana dikutip oleh Syahrul Mustofa, mengklasifikasikan jenis-jenis korupsi menjadi 7 (tujuh) bentuk korupsi, yaitu :
1. Korupsi Transiktif, yaitu korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan timbal-balik, antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima demi keuntungan bersama, dan kedua pihak tersebut sama-sama aktif melakukan atau menjalankan perbuatan korupsi tersebut.
2. Korupsi Ekstroktif, yaitu korupsi yang menyatakan bentuk-bentuk korelasi (penekanan) dimana pihak pemberi dipaksa untuk memberikan suap guna mencegah kerugian yang mengancam dirinya, kepentingan orang-orangnnya, serta hal-hal yang dihargainya.
3. Korupsi Investif, yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan yang memberi. Keuntungan diharapkan akan terjadi atau akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4. Korupsi Nepotisme, yaitu korupsi yang berupa pemberian kelakuan khusus kepada teman atau yang memiliki kedekatan hubungan dalam rangka memduduki jabatan politik. Dengan kata lain, pemberian kelakukan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.
5. Korupsi Autogenik, yaitu korupsi yang dilakukan individu kerena mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari pengetahuan dan pemehamannya atas sesuatu yang diketahuinya sendiri.
6. Korupsi Suportif, yaitu korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak pidana korupsi yang dilakukan.
7. Korupsi Defensif, yaitu suatu perbuatan korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari perasaan.
Pengertian yang kemukakan oleh Syed Hasein Alatas di atas jauh lebih luas daripada pengertian dan jenis-jenis yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini menunjukan bahwa hukum yang mengatur hal tersebut jauh tertinggal dengan kenyataan yang ada dimasyarakat.
Sedangkan menurut Locus sebagaimana dikutip oleh Syahrul Mustofa, korupsi dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Bureucratik Corruption, yaitu korupsi yang terjadi pada ruang ligkup pelaksanaan fungsi-fungis pemerintahan.
2. Yudisial Corruption, yaitu korupsi yang terjadi pada ruang lingkup penegak hukum.
3. Political Corruption, yaitu korupsi yang terjadi pada ruang lingkup proses-proses politik.
Korupsi diibaratkan sebagai mata rantai yang saling berhubungan satu sama lain dan hal itu juga yang menyebabkan korupsi seakan-akan tidak memiliki ujung pangkal.
Untuk memudahkan pemahaman kita agar dapat mengetahui penyebab-penyebab terjadinya korupsi, maka perlu dibuat rumusan yang agar dapat memudahkan kita dalam memahami dan mengerti faktor penyebab korupsi.
1. Niat dan Kesempatan
Niat akan dilakukan apabila terdapat suatu suasana yang kondusif, sehingga terbuka kesempatan untuk melakukan perbuatan korupsi. Sebaliknya, suasana yang kondusif dapat menimbulkan niat untuk melakukan pebuatan melanggar hukum termasuk perbuatan korupsi.
Niat adalah faktor internal yang ada di dalam hati atau diri seseorang. Faktor tersebut disebabkan karena lemahnya mental seseorang yaitu terdapat ketidakjujuran, tamak dan sombong dalam hati orang tersebut, dan terkait dengan lemahnya tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Selain faktor internal dari diri seseorang, terdapat juga faktor yang ada diluar diri seseorang yang bisa menyebabkan orang tersebut melakukan perbuatan korupsi, yaitu :
a. Lemahnya peraturan perundang-undangan sehingga banyak celah-celah yang dimanfaatkan para koruptor, sehingga tidak khawatir dijerat oleh hukum dan dikarenakan ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor;
b. Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwajib melakukan pengawasan baik pengawasan yang dilakukan di dalam instansi maupun pengawasan yang dilakukan di luar instansi, dan juga lemahnya pengawasan publik; dan
c. Dimonopolinya kekuasaan oleh para koruptor yang kebanyakan adalah orang-orang yang memimpin atau yang bekerja disebuah instansi pelayanan publik.
Faktor yang menyebabkan celah-celah atau hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan korupsi, yaitu faktor internal dari seseorang (iman dan moral) dan faktor eksternal yaitu dari lingkungan sekitar, aspek politik, aspek ekonomi dan juga sosial budaya, dan juga aspek hukum. Faktor yang paling utama adalah terdapatnya celah untuk melakukan perbuatan tersebut.
2. Kekuasaan Monopili dan Kewenangan, serta Pertanggungjawaban yang Lemah
Kekuasaan cenderung dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan korupsi. Kekuasaan yang absolut akan menimbulkan menjamurnya perbuatan korupsi. Absolutisme tidak akan lahir jika tingkat kesadaran sosial masyarakat tinggi dan secara kritis melakukan berbagai upaya kontrol kekuasaan.
Korupsi akan terjadi jika resiko yang ditanggung itu rendah. Peluang terjadinya perbuatan korupsi akan terbuka lebar jika instrumen hukumnya lemah dan hukum yang ada tidak memiliki sanksi yang tegas terhadap para pelanggarnya. Rendahnya sanksi hukum yang diberikan akan memberikan kesempatan untuk setiap orang melakukan perbuatan korupsi.
3. Pendekatan Jaringan
Jaringan korupsi melibatkan para elit politik yang terdiri dari pimpinan eksekutif, elit partai politk, petinggi lembaga pradilan dan kalangan bisnis.
Sulitnya pemberantasan korupsi, dikarenakan aparat penegak hukum sering berada di situasi yang dilematis, oleh karena itu jaringan korupsi sulit untuk diterobos dari dalam, karena KKN antara pengusaham, politikus dan penegak hukum sangat kuat, dan juga korupsi sulit diberantas dari luar karena para aparat penegak hukum dapat menyediakan penjahat kelas teri untuk dikorbankan.
4. Pilar-Pilar Integrasi Nasional atau Bangsa
Integritas Nasional atau bangsa adalah proses penyatuan kembali kelompok budaya dan sosial kedalam suatu wilayah nasional. Dalam sistem integrasi, aparat dan lembaga harus menjauhkan diri dari sistem pengawasan atas bawah dan sistem ini harus diubah menjadi pengawasan horizontal, yaitu sistem penyebaran kekuasaan dimana tidak adanya kekuasaan yang dimonopoli oleh orang-orang yang berkepentingan.
Di dalam sistem ini masing-masing pemegang kekuasaan mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaannya kepada masyarakat atau publik, dan sistem ini akan melahirkan suatu lingkaran kebijakan yakni lingkaran yang memungkinkan setiap lembaga apapun berperan sekaligus sebagai pengawas dan pihak yang diawasi, atau dengan kata lain sebagai pemantau dan sekaligus yang dipantau.
Sudah kita ketahui bersama korban dari perbutaan korupsi baik secara langsung maupun tidak langsung adalah masyarakat menegah ke bawah (masyarakat miskin). Permasalahan korupsi bukan hanya urusan pemerintah, karena yang menjadi korban utama adalah masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah. Pemberantasan tindak pidana koruspi akan berhasil jika masyarakat ikut aktif berperan dalam pemberantasannya. Kita harus menyadari bahwa peran serta masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi harus dilakukan oleh semua komponen masyarakat secara aktif. Komponen masyarakat yang dimaksud adalah seluruh lapisan masyarakat baik dari kalangan petani, buruh atau pekerja, kusir, pedagang maupun orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan harus berjuang bersama-sama dalam memerangi korupsi. Selain adanya partisipasi dari semua lapisan atau kalangan masyarakat dalam pemberantasan tindak piadan korupsi harus juga mempunyai strategi yang akan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan agar terorganisir dengan baik serta terarah. Perlu disadari bahwa korupsi tidak akan hilang sepenuhnya, walaupun pada negara yang sistem pemerintahannya sudah baik sekalipun, tetapi melalui gerakan bersama-sama memerangi korupsi dan dengan strategi yang jelas, maka korupsi akan banyak berkurang.
Penyelesaian kasus-kasus tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah dan aparat hukum saja, bagaimanapun pemerintah khususnya lembaga-lembaga hukum memiliki keterbatasan-keterbatasan, yaitu:
1. Aparat penegak hukum memiliki kemampuan yang sangat terbatas untuk mengidentigikasi dan menyelidiki kasus korupsi, oleh karena itu masyarakat harus membantu melaporkan dan memberikan data dan informasi berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi. Hal ini akan membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan memberikan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana korupsi.
2. Lembaga hukum sering kali tidak memiliki kemauan atau keinginan terhadap penanganan kasus korupsi karena lembaga atau instansi tersebut merupakan bagian dari korupsi yang sistemik dan sistematis. Sebagian aparat penegak hukum yang bersih dan memiliki kemauan untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, sulit menjalankan tugas karena mendapat tekanan dari lingkungan kerja atau lembaga dimana dia bekerja.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan dari lembaga-lembaga penegak hukum, maka besarnya peluang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh masyarakat dan dilakukan secara bersama-sama dalam arti semua lapisan masyarakat ikut berpartisipasi memberantas tindak pidana korupsi. Ada beberapa peluang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu :
1. Dengan sistem politik yang semakin demokratis membuka ruang gerak bagi po¬litisi maupun aktivis yang anti korupsi untuk berpolitik dengan mengedepankan dan memperjuangkan aspirasi rakyat;
2. Semakin kuatnya tekanan masyarakat terhadap penanganan kasus.kasus korupsi; dan
3. Produk perundang-undangan yang semakin mengedepankan partisipasi masyarakat dan trasparansi informasi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan jalan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Pemberantasan korupsi merupakan mata rantai yang saling melekat dalam setiap langkah menciptakan pemerintahan yang baik (good governance), yang artinya tidak akan terciptanya pemerintahan yang baik jika korupsi masih berkembang tidak terkendali.
Ada empat (4) hal yang membuat korupsi sulit diberantas atau tumbuh tidak terkendali, yaitu :
1. Sistem pemerintahan yang memungkinkan dan memberikan peluang untuk melakukan korupsi;
2. Semakin menurunya moralitas, akhlak, dan kesadaran masyarakat;
3. Pandangan hidup yang materialistik, sekuler, kapitalis, komunis, dan melupakan keberadaan Allah SWT dalam kehidupan; serta
4. Kurang aktifnya masyarakat dalam mengontrol.

Pemerintah tentunya menyadari bahwa jika tidak ada yang diingatkan terus menerus untuk melakukan sesuatu untuk memberantas tindak pidana korupsi, maka kemungkinan besar akan lalai yang dikarenakan beratnya tugas yang diemban disatu sisi, serta manisnya godaan kekuasaan dan uang disisi lain. Disinilah aspek pemberdayaan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Kegagalan pembangunan pada era Orde Baru adalah contoh terpinggirnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, baik dibidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Baik itu pembangunan dibidang politik, ekonomi, dan sosial budaya akan mengalami keberhasilan jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan tersebut. Demikian pula pemberantasan tindak pidana korupsi, jika masyarakat tidak ikut serta dalam perberantasan korupsi, hanya maka akan menjadi impian yang kosong atau hanya akan menjadi harapan korupsi akan hilang dari Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat harus dilibatkan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan masyarakat juga harus dilibatkan dalam setiap kegiatan pembangunan agar terjadi kontrol sosial yang menyeluruh, baik dari peraturan perundang-undangan maupun dari norma-norma yang ada.
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu :
1. Partisipasi masyarakat akan melahirkan suatu kebijakan pemerintah yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat;
2. Partisipasi masyarakat akan meringankan tugas-tugas aparat pemerintah; dan
3. Suatu kebijakan pemerintah yang disusun secara partisipatif akan lebih legitimate di masyarakat.
Bentuk dari partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi delapan (8), yaitu :
1. Pengawasan oleh warga atau masyarakat;
2. Delegasi kekuasaan;
3. Kemitraan
4. Peredaman;
5. Konsultasi;
6. Menginformasikan;
7. Penentraman atau terapi; dan
8. Menipulasi.
Dua tangga terbawah (7 dan 8) dikatagorikan sebagai non partisipasi, karena sasarannya adalah bentuk mendidik dari masyarakat yang berpartisipasi. Tangga ke-4 sampai tangga ke-6 dikatagorikan sebagai tingkat Tekonisme, yaitu suatu peran masyarakat yang didengar dan diperkenankan berpendapat. Sedangkan tiga tangga teratas (1, 2 dan 3) termasuk ke dalam tingkat kekuasaan masyarakat (Citizen Power). Masyarakat pada tingkat ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan kemitraan (Partnership) dengan memiliki kemampuan tawar menawar dengan penguasa.
Sebagaimana yang dimaksud di atas, bentuk dari partisipasi masyarakat dapat dilihat dari sifatnya yang dapat dibedakan menjadi dua (2) jenis, yaitu : Pertama, partisipasi otonom atau mandiri yaitu suatu partisipasi masyarakat yang lahir dari kesadaran masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik. Sedangkan yang Kedua, mobilisasi termasuk di dalamnya partisipasi seremonial yaitu bentuk partisipasi masyarakat yang digerakkan oleh orang atau kelompok elit politik tertentu.
Bentuk partisipasi masyarakat yang sesungguhnya harus mensyaratkan adanya kesepakatan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan publik. Partisipasi aktif akan lahir jika masyarakat aktif dan sadar (mengetahui dan memahami permasalahan yang sebenarnya terjadi). Dengan itu dalam partisipasi masyarakat harus mensyaratkan :
Adanya komitmen transparansi dari pemerintah;
1. Adanya kebebasan dari masyarakat untuk memperoleh informasi;
2. Adanya kesadaran masyarakat untuk mencari informasi;
3. Adanya campur tangan masyarakat dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah;
4. Adanya kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat; dan
5. Adanya jaminan hukum bagi masyarakat.
Sebagaimana syarat-syarat dari partisipasi masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus didukung dengan kontrol sosial secara umum. Oleh karena itu melakukan sesuatu dan agar tidak terjadi suatu kesalahan, maka kita memerlukan kontrol dari orang lain, begitu juga pemberantasan korupsi harus harus dilakukan dengan kontrol sosial yang terkait dengan bentuk partisipasi masyarakat. Ada beberapa kontrol yang berkait dengan bentuk peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantasan tindak pidana korupsi, yaitu :
1. Kontrol Internal.
Yaitu kontrol dari dalam diri sendiri. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kontrol internal seperti beribadah kepada Allah SWT, menambah pemahaman terhadap korupsi, dampak akibat korupsi, resiko yang harus dihadapi jika melakukan korupsi dan bahaya korupsi bagi diri kita, keluarga kita dan masyarakat luas.
2. Kontrol Sosial
Agar kita tidak malakukan perbuatan korupsi, maka kita harus menciptakan kontrol sosial bagi diri kita dan orang lain, dengan cara mendatangi kelompok-kelompok atau orang-orang yang dapat memberikan nilai positif bagi diri kita.
3. Kontrol Manajerial
Selain kita meningkatkan kontrol pada diri kita dan kontrol sosial, ada lagi kontrol yang dapat menjauhi diri kita dari perbuatan korupsi yaitu kontrol manajerial yang menjadi bagian dari mekanisme kerja. Dalam hal ini kita dituntuk untuk terbuka terutama dalam urusan keuangan, baik kepada bawahan maupun atasan.
4. Kontrol Transenden
Ini adalah kontrol tertinggi dari segala kontrol yang sudah disebutkan di atas. Kontrol ini lahir dari keyakinan bahwa Allah SWT Maha Mengetahui segala yang kita kerjakan baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, yang tersirat ataupun yang tersurat.
Langkah pencegahan korupsi harus mentrasmisikan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan pada keluarga dalam hal pengelolaan uang. Pemberantasan korupsi harus dilakukan pada diri sendiri dan orang yang dekat dengan kita, bukan dari “aib” orang lain.
Selain pemberantasan korupsi dimulai dari diri pribadi dan lingkungan keluarga, penanganan korupsi harus juga dimulai dengan pemberdayaan masyarakat dan kalangan birokrasi untuk tidak menyuap atau menerima suap, dan dilanjutkan dengan penegakkan hukum yang konsisten dan tanpa adanya diskriminasi baik atas dasar jabatan, suku, agama, atau pun garis keturunan.
Ada tiga (3) bentuk strategi yang dapat membantu dalam peran dari masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi, yaitu :
1. Strategi Preventif
Yaitu strategi yang bersifat mencegah atau setidaknya meminimalkan terjadinya tindak pidana korupsi. Strategi ini harus dilakukan dengan cara yakinkan diri kita untuk tidak melakukan atau membantu melakukan perbuatan korupsi.
Strategi ini terkait dengan norma-norma yang ada di masyarakat seperti Norma Agama. Norma Kesusilaan, dan Norma Kesopanan.
Selain strategi preventif ini terkait dengan Norma Agama, Norma Kesusilaan dan Norma Kesopanan, harus dilakukan pencegahan preventif lainnya yaitu dengan cara mereformasikan sistem politik dan sistem birokrasi.
a. Reformasi Politik
Korupsi di tingkat elite lebih merupakan masalah politik. Maka kita bisa mengerti bagaimana ketiga pitar (legislatif, eksekutif dan yudikatif) penyelenggara negara itu tidak berdaya atau cenderung melangengkan korupsi. Kita tahu ketiganya tidak steril dari rezim lama yang korup. Pemilu yang telah berlangsung secara demokratis, terbukti tidak mampu melahirkan elite-elite politik yang memiliki integritas tinggi dan lepas dari masa lalu.
Yang diharapkan akan lahir lembaga legislatif yang kuat dan bersih untuk bisa melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan, malah sekarang masalah politik uang (money politic) menjadi fenomena tersendiri. Partai politik yang kebanyakan dibentuk oleh elite politik yang sumber keuangannya sangat tergantung dari kalangan pengusaha besar dan anggota-anggota mereka yang berada di pemerintahan atau BUMN, turut mempertahankan realitas patronasi politik dalam bisnis yang menjadi akar korupsi di tingkat atas. Dalam konteks ini bukan rahasia partai politik membisniskan jabatan politik. Di bawah ini, ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam mereformasikan sistem politik di Indonesia, yaitu :
a. Reformasi politik harus menjadi agenda utama dalam pemeberantasan korupsi, terutama dalam upaya pembatasan dan pembagian kekuasaan yang seimbang dalam hubungan negara, sektor swasta dan civil society dengan memperkuat rule of law, memperkuat kapasitas anggota DPR dan civil society dan perubahan sistem pemilu yang lebih demokratis dengan tidak memperjual belikan suara rakyat
b. Pemberdayaan legislatif yang terkait dengan reformasi sistem pemilihan umum. Sistem pemilu secara proporsional terbukti tidak menjamin public accountability dari anggota DPR. Realitas money politic di kalangan wakil rakyat harus dilihat bukan semata dari sisi moral para wakil rakyat, tapi juga sistem electoral yang membangun loyalitas mereka kepada elite parpol, bukan kepada rakyat.
c. Pemberdayaan civil society yang paling penting dalam hal ini menyangkut pemberian akses masyarakat terhadap inforrnasi mengenai kebijakan pemerintah, sehingga kebijakan pemerintahan berdasar pada preferensi masyarakat. Kebebasan pers menjadi tidak bermakna dalam menjalankan fungsi pengawasan, kalau tidak ada kebebasan memperoleh informasi.

b. Reformasi Birokrasi
Pencegahan korupsi yang paling strategis adalah menutup semua peluang terjadinya korupsi. Pintu-pintu korupsi itu sekarang sangat terbuka lebar, karena sistem pelayanan publik sangat birokratis. Ide subsidiaritas, untuk memperpendek perijinan atau pelayanan publik di tingkat birokrasi paling rendah, mungkin dapat dipertimbangkan untuk memangkas rantai korupsi pada birokrasi pemerintahan. Otonomi daerah harus dilihat sebagai upaya untuk mengikis sentralisasi kekuasaan administrasi pemerintahan yang kondusif bagi pemberantasan korupsi.
Agenda reformasi birokrasi pemerintahan harus termasuk didalamnya adalah memperbaharui sistem birokrasi yag berbelit-belit dan pembersihan birokrasi dari pejabat-pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, pemerintah akan gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Peningkatan gaji di tingkat elite pemerintahan tidak akan efektif untuk mencegah korupsi, apabila sistem birokrasi masil menyulitkan masyarakat.
2. Strategi Detektif
Yaitu strategi yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi atau mendeteksi apakah telah terjadi tindak pidana korupsi. Strategi ini harus dilakukan dengan cara pengumpulan data.
Di dalam strategi detekdif memerlukan suatu dekonstruksi sosial. Dekonstruksi sosial bukanlah antitesis dari tesis yang ada, tetapi suatu sintesis dari keunggulan-keunggulan kemanusiaan dan bersifat dinamis melalui proses dialektika yang akan terus-menerus memperbarui dirinya. Sebagai sintesis, dekonstruksi sosial merupakan rajutan-rajutan baru yang terbuka secara terus-menerus, dan keterbukaan merupakan prasyarat utama dalam proses pembaruan itu sendiri.
Dekonstruksi sosial akan melahirkan sistem kehidupan masyarakat baru yang terbuka dan semua urusan publik tidak lagi bertopeng atau tertutup-tutupi. Rasanya korupsi hanya bisa dikendalikan jika semua urusan publik dilepaskan dari pemujaan atas topeng-topeng kekuasaan yang ada dengan cara transparansi data dari setiap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
3. Strategi Advokasi
Yaitu strategi yang dilakukan dengan cara membangun sistem yang dapat menyelesaikan kasus-kasus korupsi secara hukum dan memberikan sanksi yang berat terhadap kejahatan korupsi yang dilakukan.
Penegakan hukum tidak hanya menyangkut independensi lembaga yudikatif terhadap eksekutif, tapi yang paling penting adanya kerangka hukum dan mekanisme untuk menegakannya untuk menjamin hak-hak warga negara dalam menegakan akuntabilitas pemerintah.
Kesalahan pertama yang dilakukan pemerintah justru tidak memprioritaskan penegakan hukum, sebagai agenda utama pemberantasan korupsi. Sejauh ini hukum nampak tidak berdaya di hadapan para konglomerat hitam dan elite politik. Kasus-kasus korupsi yang diproses secara hukum senantiasa dihentikan di tingkat penyidikan atau dibebaskan di pengadilan. Selama mereka yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dijebloskan ke penjara, jangan harap korupsi akan berhenti sekalipun peluang untuk korupsi sudah diminimalisir.
Masyarakat senantiasa mengaitkan kinerja kejaksaan dan kepolisian yang di masa lalu menjadi aparat represif pemerintah Oere Baru yang sangat efektif membungkam aktivis atau oposisi, sampai saat ini belum tersentuh reformasi. Masalah ini terkait dengan realitas mafia peradilan yang juga nampak masih bercokol. Memang sudah dibentuk lembaga-lembaga pemeberantasan korupsi untuk mensubstitusi fungsi kejaksaan dan kepolisian, dengan melibatkan unsur masyarakat. Tetapi independensi lembaga tersebut masih diragukan oleh masyarakat, dan Jaksa Agung tidak memberikan kewenangan penuh untuk menangani korupsi, sebatas yang dilimpahkan oleh kejaksaan.
Membersihkan mafia peradilan, yang melibatkan polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Pembaharuan institusi hukum dan perundang-undangan sekarang ini menjadi tidak ada artinya di tengan mafia peradilan. Program pembersihan lembaga peradilan harus dimulai dari MA, sebagai benteng terakhir pencari keadilan masyarakat.
Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi No. 31 tahun 1999 belum mempermudah proses peradilan korupsi, karena belum mengakomodir asas pembalikan beban pembuktian (pembuktian terbalik). Sekarang ini masyarakat sangat sulit untuk menyeret koruptor ke pengadilan karena harus cukup bukti, dan dalam pembuktian ini akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan jaksa atau penyidik. Maka kalau penyidiknya bagian dari sindikasi korupsi, jangan harap koruptor akan diadili.
Selain strategi yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk memerangi korupsi ada satu lagi strategi yang tidak kalah pentingnya yaitu strategi represif yaitu kewenangan penegak hukum untuk memproses tersangka tindak pidana korupsi, jika tidak ada proses dari penegak hukum maka para koruptor tidak akan mendapatkan hukuman yang setimpal.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di dalam BAB V Tentang Peran Serta Masyarakat Pasal 41 menyatakan :
1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4. Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mentaati norma agama dan norma sosial lainnya.
5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Di dalam ayat (4) mengatur tentang “mentaati norma sosial lainnya”, dengan maksud agar dalam menjalankan atau melaksanakan bentuk peran serta dari masyarakat dalam pemberantasan korupsi tidak keluar jalur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undagan dan norma yang ada dimasyarakat.
Di dalam Pasal 41 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, diterangkan bahwa ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dalam pemberantasan tidank pidana korupsi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, oleh karena itu, agar terlaksananya bentuk peran serta masyarakat dengan baik dalam hal pemberantasan tidank pidana korupsi dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran sera Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Korupsi.
Pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut, terdapat Norma Agama, Norma Kesusilaan dan Norma Kesopanan, yang menunjukkan bahwa tata cara pelaksanaan bentuk dari peran serta masyarakat harus didasarkan oleh norma-norma yang ada dan hidup dimasyarakat.
Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat empat (4) norma yaitu Norma Ketuhanan yang mengatur tentang keimanan dan ketakwaan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Norma Kesusilaan yaitu mengenai isi dari jiwa dan hati seseorang (badaniah), Norma Kesopanan tentang tata cara hidup bermasyarakat, dan yang terakhir adalah Norma Hukum yaitu berkaitan dengan pengaturan seseorang hidup dimasyarakat. Oleh karena itu, bentuk peran serta masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi harus mentaati dan didasari oleh keempat (4) norma yang ada dimasyarakat.
1. Norma Agama
Di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan diawalnya dengan kalimat “Dengan Rahmat Tuhan Yang Esa”, makna dari kalimat ini adalah sesuatu perbuatan yang akan kita lakukan harus berdasarkan Ketuhanan, begitu pula dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur baik pemberantasan tindak pidana korupsi maupun peraturan pelaksana dari peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan tujuan pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan berlandaskan Ketuhanan dan diberikan rahmat oleh Tuhan Yang Maha Esa agar yang dicita-citakan yaitu hilangnya korupsi di bumi Indonesia dapat cepat terwujud.
Di dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Pengahargaan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 2 ayat (2) “Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Norma Agama, Kesusilaan, dan Kesopanan”.
Di dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut dicantumkan secara tanggung jawab sesuai Norma Agama. Hal tersebut telah jelas bahwa dalam peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus disesuaikan dengan Norma Agama.
Di balik hukum positif terdapat hukum yang lebih tinggi yaitu hukum Tuhan yang berdasarkan Norma Ketuhanan yang memiliki nilai jauh lebih tinggi dan pertanggungjawabannya jauh lebih berat daripada hukum positif yang diciptakan atau diundang-undangkan oleh manusia. Kemudian, banyak terjadi proses pengadilan kasus korupsi yang hanya dikatakan, “Semua itu sudah sesuai dengan proses hukum dan pengadilan yang berlaku di atas undang-undang yang sudah digariskan”.
Jika seorang pencuri biasa seperti pencuri ayam dikurung hingga belasan tahun dalam penjara, sedangkan koruptor miliaran rupiah hanya diganjar satu tahun penjara, bahkan dibebaskan, para penegak hukum di negeri ini dengan dengan mudah menjawab menjawab, “Tidak ada ketentuan undang-undang yang melarang hal itu”.
Dalam hal peran dari masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu terkait dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undagan yang berlaku yaitu Pasal 41 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yaitu mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi jangan hanya dilihat dari hukum positif tetapi juga harus dilihat dari Norma Agama, karena di dalam pasal tersebut juga mensyaratkan mentaati norma Agama.
Karena di balik hukum positif yang diperjuangkan, terdapat norma-norma hukum lain yang sangat luhur yang seharusnya diperhatikan secara serius oleh para penegak hukum. Artinya, bagi para praktisi hukum atau para penegak hukum dan pejuang keadilan jangan hanya mengacu pada hukum positif saja, tetapi harus juga mengacu pada norma-norma yang ada di masyarakat.
Peraturan Pemerintah No. 71 Pasal 4, sebagai peraturan yang menjalankan tentang peran serta masyarakat telah memberikan peluang sebesar-besarnya dalam mencari, memperoleh dan melaporkan dugaan korupsi, tetapi dalam ayat (3) peraturan tersebut juga ada bentuk penolakan tentang pemberian informasi tentang dugaan korupsi yang terkait dengan rahasia-rahasia negara, seperti rahasia bank, rahasia kekayaan pejabat negara, rahasia pajak. Jika hukum saja sudah memberikan kesempatan untuk tidak memberikan informasi tentang dugaan korupsi, maka apalagi pejabat yang menjalankan atau yang hanya mengacu pada hukum positif saja tidak melihat norma-norma yang ada di masyarakat, akan dengan mudah memberikan jawaban “tidak, ini rahasia negara!!!”.
Hukum positif tidak cukup sebagai solusi dengan langkahnya law enforcement. Dari segi norma-norma hukum positif, undang-undang anti korupsi memfasilitasi penegakan hukum, bahkan menggariskan rambu pidana sampai tahap hukumam mati. Problemnya, sumber daya manusia penegaknya dilanda krisis moral dan agama sehingga norma-norma hukum positif hanya berfungsi sebatas konsep law enforcement, tanpa memiliki efek jera.
Norma hukum memang belum sepenuhnya sempurna, bahkan ada benturan antara satu norma hukum dengan norma yang lainnya terutama Norma Agama yang sifatnya fundamental. Melihat dari kasus-kasus korupsi besar, yang melibatkan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum hanya melihat persoalan utama yang kemudian teridentifikasi hanya pada level law enforcement (penegakan hukum), oleh karena itu terjadinya kesenjangan antara law in the book (hukum dalam UU) dengan law in action (hukum dalam kenyataan). Norma-norma hukum tak sanggup ditegakkan dengan baik.
Apabila, semua aparat penegak hukum tidak hanya melihat dari satu sisi yaitu sisi hukum positif, maka mereka akan merasa bahwa informasi tersebut sangat penting untuk mencegah atau bahkan untuk memberantas korupsi, yang dikarenkan jika informasi tersebut tidak diberikan maka akan menyengsarakan masyarakat banyak.
Upaya pemberantasan korupsi sesuai denan norma agama adalah terkait dengan keimanan seseorang yang dikarenakan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan keimana terkait dengan kejujuran terhadap apa yang diperbuat.
Norma agama adalah norma yang sangat fundamental yang berlaku secara universal. Di dalam kehidupan beragama dikenal adanya surga dan neraka, apabila tingkat keimana seseorang tinggi maka hampir semua tingkah lakunya terarah atau dengan kata lain tingkat kejujurannya tinggi, yang dikarenakan dia yakin bahwa Tuhan Maha Melihat dan Mendengar segala sesuatu yang diperbuat oleh setiap manusia. Tetapi jika tingkat keimanan seseorang rendah, maka tingkat kejujurannya pun masih diragukan.
Niat adalah faktor internal yang sangat berpengaruh di dalam menjalankan suatu kegiatan atau perbuatan dan niat ada di dalam hati seseorang atau ada di dalam diri seseorang.
Apabila kita ingin melakukan sesuatu kita harus membenahi dan memperkuat niat kita yaitu niat untuk menciptakan bangsa Indonesia yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sesuai dengan “Sila Pertama dalam Panca Sila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa” dan kalimat pembuka dalam setiap peraturan perundang-undangan yaitu “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.
Oleh karena itu, diperlukannya komitmen bersama untuk membulatkan tekat dan niat memberantas tindak pidana korupsi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik dari kalangan petani, buruh, pedangang, pegawai baik yang negeri maupun yang swasta, pengusaha sampai pejabat tinggi negara.
Norma agama memiliki sanksi yang tidak dapat dirasakan langsung tetapi sanksi tersebut akan diberikan kelak pada saat di akhirat. Masyarakat yang menyakini dan mengimani bahwa akan datang suatu pembalasan kepada dirinya untuk setiap tindakan-tindakan yang dilakukan baik itu tindakan yang baik maupun tindakan yang buruk.
Dalam kaitannya dengan Norma Agama, kontrol internal dalam diri pribadi sangat diperlukan agar seseorang tidak melakukan hal-hal yang buruk dalam kehidupan bermasyarakat. Kontorl internal yaitu kontrol dari dalam diri sendiri. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kontrol internal seperti beribadah menurut agama masing-masing, menambah pemahaman terhadap korupsi, mengetahui dampak dari perbuatan korupsi, resiko yang harus dihadapi jika melakukan korupsi dan bahaya korupsi bagi diri kita, keluarga kita dan masyarakat luas.
Sikap dalam menilai suatu masalah termasuk masalah korupsi adalah terkait dari tingakat keimana kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap positif adalah salah satu implementasi dari tingkat keimanan terhadap korupsi maka kecenderungan seseorang untuk melakukan korupsi cenderung besar. Namun hal ini tidak berarti bila sikap seseorang negatif terhadap korupsi akan membuat seseorang tidak berkorupsi. Pejabat-pejabat dari berbagai tingkatan sering mengecam dan mengutuk korupsi. Namun, mereka melakukan korupsi juga. Bila pelaku korupsi ditanya sikapnya tentang korupsi, hampir bisa dipastikan akan menilai korupsi sebagai keburukan. Antara sikap dan perilaku kadangkala tidak sejalan, dan untuk korupsi ‘seringkali’ tidak sejalan. Jadi, sikap positif atau negatif terhadap korupsi belum bisa dijadikan prediksi yang kuat atas timbulnya perilaku korup. Oleh karena itu, kita harus membenahi sikap dan perilaku kita agar sejalan dalam hal memberantas korupsi.
Oleh karena itu, bentuk dari peran masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai individu-individu harus dimulai dari diri pribadi dengan cara meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar tidak terjerumus dan berniat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang ada terutama norma agama, karena semua kejadian atau perbuatan berawal dari niat di dalam diri pribadi (masyarakat). Apabila benteng keimanan dan ketakwaan sudah sangat kokoh, serta niat yang telah bulat untuk tidak malakukan hal-hal yang berbau korupsi, maka semua bentuk kejelekan atau keburukan yang ada dan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang terkait dengan perbuatan korupsi akan sulit masuk ke dalam diri kita yang dikarenakan telah tertanam keimanan dan ketakwaan, serta niat yang baik karena Tuhan Yang Maha Esa dan takut kepada-Nya.
Sedangkan di dalam penjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi baik Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2000 tidak mengatur lebih rinci atau dijelaskan secara jelas tentang tata cara peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi yang terkait dengan Norma Agama yang dikarenakan norma tersebut memiliki sifat yang universal dan hanya dapat dilakukan dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Mengetahui segala perbuatan manusia, oleh karena itu bentuk peran serta masyarakat hanya dapat diinterprestasikan dalam bentuk-bentuk peran serta masyarakat yang terkait dengan Norma Agama seperti mengingkatkan iman dan takwa kepada Tuhan.
2. Norma Kesusilaan
Di dalam menjalankan Norma Kesusilaan adalah norma yang terkait dengan tingkah laku seseorang yang timbul dari dalam jiwa seseorang yang bersifat badaniah dan terkait dengan sifat sombong, pamer, ingin dipuji dan lain sebagainya.
Pertama, alternatif dilakukan dengan pendekatan kultural. Pendekatan ini hendak menegaskan, semakin berbudaya suatu bangsa, semakin tinggi pula budaya bangsa itu dalam berhukum. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat harus memberi kontribusi positif dalam cara-cara berhukum. Pendekatan budaya ini menghendaki agar nilai-nilai kultural yang dijunjung tinggi ditegakkan kembali. Budaya malu harus dihidupkan. Apa lagi bangsa ini dikenal sebagai bangsa berbudaya, maka menghidupkan nilai budaya malu sebenarnya menemukan relevansinya dalam kultur kehidupan kita. Masalahnya kini, masihkah budaya malu ini meresap dalam kalbu masing-masing individu di dalam kehidupan bermasyarakat?
Kedua, pendekatan psikologis. Pendekatan ini memunculkan dampak psikologis terhadap mereka yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum. Mereka yang melanggar hukum secara psikologis hendaknya menyadari bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela. Dengan demikian masih pantaskah dirinya mencalonkan diri ke dalam jabatan-jabatan publik yang menghendaki kredibilitas yang tinggi. Sementara perilakunya telah menyimpang dari Norma Kesusilaan.
Di lain sisi, sejatinya ancaman pidana itu merupakan psikologisce dwang (paksaan psikologis). Pelaku seharusnya merasa dirinya tidak layak lagi mencalonkan diri akibat paksaan psikologis ini.
Namun, kedua pendekatan ini dirasakan tidak efektif dalam tataran faktual. Contoh konkret hal ini adalah gerakan untuk tidak memilih politisi busuk dalam pemilu legislatif justru mendapat tantangan dari komunitas hukum karena ada asas praduga tidak bersalah dan sejenisnya.
Baik pendekatan kultural maupun psikologis, hendaknya memunculkan kesadaran dalam diri masing-masing untuk berperilaku yang pantas dengan mengindahkan aturan-aturan di bidang mana pun.
Bangkitnya kesadaran diri inilah yang menjadi tujuan akhir sesungguhnya dari cara-cara hukum. Penghukuman yang dijatuhkan merupakan bentuk pencelaan atas perbuatan yang dilakukan. Di lain pihak, pencelaan ini merupakan suatu bentuk penyesalan yang ditimpakan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum.
Mungkinkah pencelaan dan penyesalan ini masih relevan di tengah arus liberalisme dan kapitalisme yang mengepung kita kini? Akan tetapi, di atas segalanya, semua harus menyadari, kedua pendekatan ini merupakan proyek besar yang tidak pernah selesai. Keterlibatan semua elemen masyarakat merupakan keniscayaan dan kita harus memulainya dari sekarang.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatur tentang Permerantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mentaati norma-norma sosial lainnya (Agama, Kasusilaan, Kesopanan dan Hukum) dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Korupsi pun mencantumkan kata mentaati Norma Kesusilaan. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam pelaksanaan peraturan tersebut haruslah dijalankan dengan hati dan jiwa yang bersih baik dari sifat iri, pamer, sombong dan lain sebagainya. Apabila pelaksanaan peraturan tersebut dijalani dengan penuh rasa sombong, ingin pamer, ingin dipuji dan laing sebagainya, maka hal tersebut akan menimbulkan suatu fitnah jika hal tersebut tidak terbukti dan bisa juga menimbulkan korupsi yang tidak disadari.
Norma ini terkait dengan pencegahan perventif, yaitu pencegahan dini sebelum perbuatan itu dilakukan oleh seseorang. Niat untuk melakukan korupsi. Baik sikap positif maupun negatif terhadap korupsi bisa melahirkan niat untuk berkorupsi. Seseorang yang bersikap positif mungkin berniat melakukan korupsi mungkin juga tidak. Sebaliknya seseorang yang memiliki sikap negatif mungkin tidak berniat mungkin juga berniat. Hanya saja bila seseorang bersikap positif terhadap korupsi maka niat melakukan korupsi cenderung lebih besar daripada yang memiliki sikap negatif. Niat ini dipengaruhi oleh keadaan dan situasi. Misalnya saja adanya tuntutan akan taraf hidup yang lebih baik, tuntutan untuk melepaskan diri dari kesulitan dan lainnya. Dari pada sikap, niat lebih dekat terhadap perilaku. Jadi, niat terhadap korupsi lebih bisa dijadikan prediksi terhadap kemungkinan timbulnya perilaku korup.
Niat memiliki bagian yaitu adalah nafsu. Abdul Rahman Ibnu Khalidun sebagaimana dikutip oleh Syahrul Mustofa, mengatakan :
“Sebab utama korupsi adalah nafsu untuk dapat hidup mewah melalui jalan pintas. Korupsi yang dilakukan dilevel atas akan menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dan kesulitan ini juga pada gilirannya menjangkitkan korupsi yang lebih lanjut, justru pemberantasan korupsi harus dimulai dari akarnya, yaitu pada level yang atas dan penanggulannganya harus pula melibatkan seluruh komponen bangsa”
Nafsu adalah salah satu faktor yang dapat membuat seseorang akan melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhan dari nafsunya tersebut, baik dengan jalan yang halal maupun yang haram seperti melakukan perbuatan korupsi. Nafsu terkait dengan sifat-sifat hati dan jiwa yang lain seperti, sombong, isi hati, tamak, ingin dipuji dan lain sebagainya, oleh karena itu dalam menjalankan atau melaksanakan peran dari masyarakat sebagai kontrol sosial harus mengkontrol diri meraka masing-masing, apakah mereka sudah dapat mengkontrol diri dari sifat nafsu atau tidak ?.¬
Bentuk peran serta masyarakat yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dilihat dari norma kesusilaan yaitu :
a. Menjaga hati dan jiwa dari sifat pamer, iri hati, ingin dipuji, sombong dan lain sebagainya dengan cara tidak melakukan perbuatan yang bisa menimbulkan kata-kata sombong, pamer, iri seperti sering mengonta-ganti mobil.
b. Menjauhi lingkungan yang dapat membawa kita ke dalam kehidupan yang serba pamer, karena dengan menjauhi lingkungan tersebut kita dan keluarga kita tidak akan ada dorongan untuk melakukan hal-hal yang terkait dengan sifat pamer, seperti melihat tetangga atau teman kita membeli motor baru kita pun ingin membeli motor baru tersebut. Jika hal tersebut telah kita jauhi maka tidak ada lagi kebutuhan-kebutunan yang keluar percuma dan tidak akan ada kata korupsi di dalam kehidupan kita yang kita usahakan untuk memenuhi sifat pamer kita.
3. Norma Kesopanan
Dalam mencari, memperoleh, dan melaporkan tentang dugaan tindak pidana korupsi harus memiliki tata cara yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undagan dan juga telah ditentukan oleh norma-norma yang hidup dan tumbuh di masyarakat, salah satunya adalah Norma Kesopanan sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Norma Kesopanan adalah norma yang mengatur tentang kesedapan hidup bertetangga dan bermasyarakat. Oleh karena itu, niat baik kita dalam mencari, memperoleh dan melaporkan tentang dugaan perbutan korupsi jangan dirusak dengan tata cara yang salah, atau dengan kata lain bertentangan dengan hukum dan norma yang ada.
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bukan hanya dengan jalan mencari simpati dari masyarakat tetapi juga empati dari masyarakat. Empati adalah kondisi mental yang membuat seseorang merasa dirinya dalam perasaan yang sama dengan orang lain, yang sama sebagai korban akibat perbuatan korupsi. Empati dapat ditumbuhkan sejak kecil hingga dewasa baik dengan pendidikan yang formal maupun pendidikan yang non formal. Dengan menumbuhkan rasa atau sifat empati di dalam diri seseorang akan menumbuhkan budaya anti korupsi dimana tidak ada rasa iba terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi sesuai dengan Norma Kesopanan adalah agar kehidupan bersama dalam masyarakat menjadi harmonis dan menjadi rukun tidak terjadi sesuatu yang menyebabkan konflik. Kaitannya dengan peran masyarakat dalam memberantasn koruspi dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi harus menghormati orang yang lebih tua atau dalam artian jabatan yang lebih tinggi, dan tidak menghilangkan rasa hormat terhadap ketentuan hukum yang berlaku baik yang tumbuh di masyarakat maupun peranturan perundang-undangan.
Sebagaimana peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, norma ini juga salah satu dari pencegahan preventif, yaitu pencegahan sebelum perbuatan itu dilakukan. Norma ini pun terkait dengan norma-norma yang lain.
Bentuk peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi terkait dengan norma Kesopanan yaitu :
a. Agar kita tidak malakukan perbuatan korupsi, maka kita harus menciptakan kontrol sosial bagi diri kita dan orang lain, dengan cara mendatangi kelompok-kelompok atau orang-orang yang dapat memberikan nilai positif bagi diri kita.
b. Kontrol manajerial yang menjadi bagian dari mekanisme kerja. Dalam hal ini kita dituntut untuk terbuka terutama dalam urusan keuangan, baik kepada bawahan maupun atasan.
Kunci utama dalam keberhasilan masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ditinjau dari segi Norma Kesopanan yang terkait dengan kesedapan hidup bermasyarakat adalah kemampuan dalam membangun jaringan yang luas dan berbasis massa, untuk itu ada dua (2) tahap yang harus dijalani yaitu : Pertama, tersosialisasikannya yang secara luas dapat diterima sebagai pemandu arah gerakan, inisiatif masyarakat akan muncul secara kreatif dan mendiri, dari ide tersebut dapat diterima sebagai suatu cara untuk meraih harapan masa depan yang lebih baik. Sedangkan tahapan yang Kedua, proses penyatuan ide-ide tersebut secara konkrit dalam sebuah rencana bersama yang sistematis dan terorganisir.
Selain hal-hal di atas, haruslah pula diterapkan saksi sosial. Sudah sangat jelas bila cita-cita memberantas KKN tak lagi dapat diletakkan hanya di pundak para elite pemimpin kita kini. Demikian juga hukum positif dan lembaga penegak hukum formal tak dapat dikatakan menjadi satu-satunya wadah untuk mengadili koruptor. Lebih jauh, menurut hemat penulis, kini kesadaran dan partisipasi masyarakat menjadi salah satu alternatif pemecahan lingkaran setan korupsi.
Kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan satu bentuk kekuatan yang dalam banyak hal telah terbukti mencegah dan meredam berbagai epidemi sosial, seperti masalah kriminalitas. Bila kita sepakat bahwa korupsi juga merupakan penyakit sosial yang baik langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan masyarakat luas, amat masuk akal bila kesadaran masyarakat luas dimobilisir untuk memerangi KKN.
Ada banyak bentuk untuk mentransformasikan partisipasi dan kesadaran masyarakat ini ke dalam bentuk-bentuk konkrit pemberantasan KKN. Antara lain adalah kampanye sikap zero tolerance to corruption serta penerapan sanksi sosial terhadap figur-figur pejabat atau pengusaha yang korup. Sanksi sosial ini dapat berbentuk character assasination (penghancuran karakter), alienasi sosial (pengucilan sosial) terhadap figur koruptor berikut anggota keluarganya atau simulasi peradilan komunal terhadap para koruptor dalam rangka pendidikan politik di tingkat masyarakat.
Koruptor diadili oleh masyarakat yang dirugikan. Hasilnya, berupa pendidikan politik bagi masyarakat sekaligus penegasan kembali terhadap norma-norma sosial konstruktif di masyarakat bahwa pejabat publik harus menganut prinsip akuntabilitas. Berbeda dengan peradilan formal, character assasination, simulasi peradilan komunal serta penerapan sanksi sosial ternyata telah menimbulkan rasa takut berikut rasa malu para koruptor dan anggota keluarga yang menikmati hasil korupsi itu.
Kelembagaan sanksi sosial akan dengan sendirinya mendorong terciptanya iklim di masyarakat untuk menganut sikap zero tolerance to corruption secara perlahan-lahan. Sikap seperti ini amat penting untuk mengimbangi rasa tak berdaya kita bersama terhadap pemberantasan KKN. Artinya, rasa-rasanya sudah saatnya kembali para LSM, tokoh masyarakat, intelektual, mahasiswa, dan media massa, secara bersama lewat berbagai mekanisme pengorganisasian sosial yang ada, kembali mengangkat genderang perang melawan praktik KKN dan mengadili secara sosial figur pejabat dan pengusaha yang korup. Kalau tidak, kekhawatiran bila gejala ketidakberdayaan hukum, inkonsistensi elite reformis dan apatisme sosial masyarakat secara bersama-sama akan mengawali krisis jilid kedua Indonesia tercinta ini.
4. Norma Hukum
Karakteristik yang begitu beragam dan disertai dengan dampak yang ditimbulkan oleh korupsi itu sendiri bagi masyarakat, menjadikan korupsi tercatat sebagai salah satu agenda hukum utama. Koridor negara hukum (rechstaat) yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) membuat kita tidak dapat secara serta merta memberantas korupsi tanpa adanya suatu landasan hukum yang berlaku dan mengikat. Oleh karena itu, sebagai pedoman dalam upaya menegakkan hukum maka berdasarkan ketentuan hukum pidana nasional, maka Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional menegaskan bahwa : “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah ada ”
Meskipun terkesan hanya bersifat sebagai suatu formalitas, tetapi pada hakekatnya pasal tersebut merupakan asas universal yang dianut dalam ilmu hukum pidana diseluruh dunia. Kekuatan keberlakuan suatu undang-undang untuk mengatur mengenai apa yang tidak boleh dilakukan dan dengan menjatuhkan pidana terhadap mereka yang melakukannya sebagaimana ungkapan buah pemikiran manusia yang paling mendasar dan dapat dikatakan bertahan sepanjang masa. Dengan akal yang dimilikinya sudah barang tentu manusia seharusnya mampu untuk menegakkan supremasi hukum, terlebih lagi hukum pidana sebagai wujud ultimatum remedium bagi pengembalian keseimbangan kehidupan masyarakat. Korupsi telah memberikan andil yang luar biasa besar dalam kebobrokan perekonomian negara. Untuk memberantas korupsi, dikeluarkanlah TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dengan adanya TAP MPR ini, maka amanat telah diberikan negara kepada penyelenggara negara untuk memberantas tindak pidana korupsi. Amanat ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif dan oleh karenanya wajib untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan di akhir masa jabatannya.
Di dalam tujuan penegakan hukum memiliki 3 (tiga) tahap, yaitu :
a. Pra Ajudikasi yaitu mencegah masyarakat menjadi korban.
b. Era Ajudikasi yaitu menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan memberikan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.
c. Pasca Ajudikasi yaitu membuat pelaku tidak lagi melakukan kejahatan tersebut.
Di dalam pelaksanaan peran serta masyarakat untuk memberantas tindak pidana korupsi, sebagaimana didasarkan pada prinsip keterbukaan atau kebebasan dalam negara demokratis yang sekarang sedang dianut di negara Indonesia, maka pemberian wewenang terhadap warga masyarakat yang ingin mencari tahu dan memdapatkan informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi harus dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang tercantum dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomot 31 Tahun 1999 Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi.
1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4. Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya.
5. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah sadar bahwa dalam melaksanakan suatu peraturan perundang-undagan tidak terlepas dari kontrol sosial masyarakat, apalagi memberantas tindak pidana korupsi yang sudah semakin sistemik di Indonesia. Peran dari masyarakat sangat diperlukan untuk menekan dan memberantasn tindak pidana korupsi.
Pentingnya peran dari masyarakat dalam memberantasn korupsi dan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 41 ayat (5), yang menyatakan Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang Hak dan Tenggung Jawab Masyarakat dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Pasal 2
1. Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.
2. Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan.
Pasal 3
1. Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai:
a. data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi Masyarakat, atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan melampirkan foto copy kartu tanda penduduk atau dentitas diri lain; dan
b. keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan.
2. Setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum.
Semua hak-hak yang diamanatkan kepada masyarakat untuk mencari, memperoleh dan menyampaikan informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi harus disampaikan dengan tanggungjawab dan mentaati norma-norma yang hidup di masyarakat, seperti Norma Agama, Norma Kesusilaan, dan Norma Kesopanan.
Hak mencari, memperoleh dan meleporkan dugaan perbuatan korupsi, harus disertai dengan hak mendapatkan informasi tentang dugaan tersebut. Di dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, pada Pasal 4 tersebut dicantumkan yaitu mengenai hak memperoleh jawaban dan pelayanan untuk mendapatkan informasi yang dinginkan.
1. Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum atau Komisi atas informasi, saran, atau pendapat yang disampaikan kepada penegak hukum atau Komisi.
2. Penegak hukum atau Komisi wajib memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi, saran, atau pendapat dari setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat diterima.
3. Dalam hal tertentu penegak hukum atau komisi dapat menolak memberikan isi informasi atau memberikan jawaban atas saran atau pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di dalam Pasal 4 ayat (2), aparat penegak hukum atau komisi tidak memberikan jawaban atas pertanyaan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari maka dapat dilaporkan jika tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang diminta dengan alasan yang tidak jelas dan masuk akal, walaupun di dalam aturan perundang-undagan yang mengatur tentang korupsi tidak memuat hal tersebut yang dikarenakan tujuan hukum adalah menciptakan keadilan di masyarakat.
Di dalam ayat (3) pasal tersebut penegak hukum atau komisi berhak menolak memberikan informasi atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh masyarkaat dengan alasan. Hal tersebut bertentangan dengan asas negara demokrasi yaitu keterbukaan dalam segala hal yang terkait dengan perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sesuai dengan agenda reformasi yaitu menciptakan negara yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) yang dimaksud “hal tertentu adalah hal yang mengenai sesuatu masalah lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya yang berkaitan dengan kerahasiaan (rahasia bank dan rahasia pos)”. Dalam pelaksanan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi haruslah terdapat keseimbangan antara masyarakat yang mencari informasi dengan aparat penegak hukum yang memberikan informasi agar tidak terjadi kesalah pahaman mengenai informasi yang diinginkan oleh masyarakat yang dikarenakan informasi tersebut tidak diberikan oleh aparat penegak hukum dengan alasan “Rahasia Negara” atau “Dirahasiakan” dengan tidak memberikan alasan-alasan yang logis dan masuk akal.
Dalam pelaksanaan sistem hukum negara, kita jangan ada perbedaan perlakuan dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun, kalau maling ayam ketangkap masuk tahanan, sang pejabat yang ada bukti awal korupsi juga seharusnya segera dimasukkan dalam tahanan, pelaku kriminal lainnya hanya boleh dibesuk pada jam dan waktu yang telah ditentukan, sang koruptor harusnya juga diperlakukan sama dan seringkali pihak aparat penegak hukumnya seolah-olah kalah wibawa dengan sang koruptor, jelas ini masalah moral dan mental yang perlu segera dibenahi.
Nilai keadilan sangat terasa bagi masyarakat banyak untuk menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku tindak pidana korupsi. Kerugian yang diderita oleh negara dan terlebih lagi untuk masyarakat kebanyakan sangat tidak memungkinkan apabila tidak memenuhi perhatian masyarakat yang luas. Atensi publik dimaksudkan untuk memberikan tekanan yang besar bagi penegak hukum untuk berhati-hati dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana korups. Lalu sanksi macam apa yang diberikan oleh negara bagi pelaku tindak pidana korupsi? Undang-undang sebagai suatu bentuk peraturan yang tertinggi di dalamnya telah dapat dicantumkan adanya sanksi pidana dan sanksi pemaksa, serta merupakan peraturan yang sudah dapat langsung berlaku dan mengikat umum. Dengan demikian UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 telah diberikan kekuatan oleh kedaulatan negara untuk memberikan sanksi pidana. Tidak main-main, pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 bahkan menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu yaitu apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Sejak saat diundangkan hingga tulisan ini dibuat, belum ada satupun terpidana perkara korupsi yang di pidana mati. Penjatuhan hukuman mati memang mudah diucapkan dalam tataran ideal. Akan tetapi, konsekuensi yang berat harus dipikul oleh hakim sebagai pemutus perkara apakah hukuman mati memang memenuhi rasa keadilan. Suatu wacana moral yang tidak akan pernah padam. Sanksi pidana yang diberikan sangat bergantung pada rasa keadilan. Rasa keadilan yang objektif tentunya adalah yang diharapkan. Namun demikian subyektifitas pasti akan berperan. Lalu kepada siapa kita harus berpaling untuk mendapatkan suatu keadilan yang objektif ? Jawaban kita tentunya berpulang kepada Hakim sebagai pemutus perkara.
Terkait dengan hal di atas mengenai pemberian laporan tentang dugaan tindak pidana korupsi penegak hukum tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu sebelum melakukan gelar perkara tersebut. Apabila si pelapor melakukan publikasi kepada khalayak umum, mungkin saja hal itu akan mengganggu proses penyelidikan atau penyidikan atas dugaan korupsi tersebut. Pihak-pihak yang dilaporkan mungkin akan segera menghilangkan bukti-bukti yang relevan atau segera melarikan diri ke luar negeri sebelum penegak hukum sempat melakukan tindakan pencegahan.
Tindakan pelapor yang melakukan publikasi kepada pers atau khalayak umum atas adanya dugaan korupsi tersebut dapat mendorong terjadinya trial by press terhadap pihak-pihak yang dilaporkan. Bagaimanapun juga asas praduga tak bersalah seharusnya tetap dihormati. Mungkin tidak masalah kalau dugaan korupsi tersebut terbukti benar di pengadilan. Bagaimana kalau ternyata dugaan korupsi tersebut tidak terbukti namun sudah terbentuk opini publik bahwa pihak-pihak yang dilaporkan tersebut dianggap telah melakukan korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi tidak bisa hanya mengandalkan sanksi baik yang ada diperaturan perundang-undangan maupun sanksi yang ada pada norma-norma yang berlaku di masyarkat atau pembentukan suatu lembaga yang sifatnya independen, tatapi harus membangun sistem integrasi bangsa. Integrasi adalah kesadaran publik dan nilai-nilai masyarakat, sedangkan arti dari integrasi adalah pembaharuan sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Dalam hal untuk membangun integrasi bangsa harus menciptakan hal-hal seperti di bawah ini, yaitu :
1. Legislatif
Tugas dari legislatif adalah menegakan kedaulatan rakyat, memperjuangkan kepentingan publik dan melakukan pengawasan serta meminta pertanggungjawaban eksekutif.
Peluang terjadinya perbuatan korupsi di lembaga legislatif sangat terbuka lebar, dikarenakan sejak awal ketika masuk menjadi calon legislatif (caleg) mereka harus membayar ke partai untuk membantu keperluan caleg terserbut untuk masuk ke dalam lembaga legislatif. Oleh karena itu masyarakat harus mengawasi jalannya pemilihan anggota legislatif
2. Eksekutif
Pemberantasan korupsi membutuhkan keteladanan dari seorang pemimpin. Seorang presiden, kepala daerah, hingga kepala desa harus memberi contoh yang baik dan menanamkan nilai-nilai dan prilaku anti korupsi kepada pegawai bawahannya.
Strategi atau bentuk dari pemberantasan tindak pidana korupsi dari eksekutif, yaitu :
a. Adanya contoh teladan dari pemimpin;
b. Pemimpin harus berada pada garda terdepan dalam pemberantasan korupsi;
c. Pemimpin harus menanamkan nilai-nilai anti korupsi kepada bawahannya;
d. Pemimpin harus memiliki visi dan strategi yang jelas dalam pemberantasan korupsi;
e. Pemimpin tidak boleh putus asa;
f. Pemimpin harus mengedepankan kepentingan masyarakat luas; dan
g. Pemimpin harus berani melawan politisi dan aparat penegak hukum yang korup.
3. Sistem Peradilan yang Independen
Kepercayaan masyarakat terhadap peradilan di Indonesia sangat rendah yang disebabkan salah satu sarang mafia atau sarang korupsi adalah lembaga peradilan. Banyak sekali kasus tentang seleksi calon hakim dan calon jaksa terjadi sogok-menyogok, sehingga hakim dan jaksa yang terpilih bukanlah orang-orang yang memiliki kapasitas, integritas dan kapabilitas yang memadai.
Korupsi di lembaga peradilan sudah sedemikian sistemik. Banyak kasus korupsi yang tidak dapat diadili, karena jaksa tidak melalukan penuntutan terhadap pelaku tindak pindana korupsi dan mengakibatkan banyaknya pelaku tindak pidana korupsi tersebut yang tidak terkena sanksi hukum. Koruptor yang bersalah dapat dimenagkan oleh hakim yang dikarenakan pengacara menyogok hakim. Lingkaran yang korup ini tidak mungkin dapat memberantas tindak pidana korupsi, jika para penagaknya sendiri juga melakukan perbuatan korupsi atau dengan kata lain aparat penegak hukum menjadi aktor dalam perbuatan korupsi.
4. Lembaga Pengawasan atau Lembaga Pemeriksaan
Lembaga pengawasan selama ini kurang efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi, dikarenakan :
a. Kedudukan berada di bawah eksekutif, sehingga banyak hasil temuan lembaga pegawasan atau lembaga pemeriksaan macet atau tidak ada tindak lanjutnya kerena instansi atau lembaga di atasnya tidak memberikan dukungan untuk menindaklanjuti hasil temuan tentang dugaan korupsi;
b. Kewenangan lembaga pengawasan sangat terbatas dan tidak dukungan dukungan yang cukup kuat untuk menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pengawas;
c. Adanya tekanan-tekanan baik dari eksekutif maupun legislatif tentang kineja lembaga pengawasan;
d. Standar audit yang tertutup dan rendahnya transparansi hasil pemeriksaan tentang dugaan tindak pidana korupsi, sehingga temuan dari lembaga pengawasan tidak dapat diakses oleh publik; dan
e. Rendahnya integritas aparat yang melaksanakan pemeriksaan tentang dugaan tindak pidana korupsi.
Badan pengawasan yang efektif seharusnya memiliki ciri-ciri, sebagai berikut :
a. Memiliki independensi baik dari sisi organisasi, operasi dan keuangan;
b. Harus mempunyai wewenang dan tugas yang jelas, serta mempunyai alat untuk memeriksa semua dana yang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi;
c. Melaksanakan seluruh tugas audit pada sektor publik;
d. Membuat laporan dengan bebas dan tanpa pembatasan mengenai hasil-hasil kerjanya dan menyebarkan kepada publik;
e. Perlu menyusun standar audit yang tersosialisasikan secara luas;
f. Penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang efektif dan efisien; dan
g. Staf atau karyawan haruslah orang-orang yang ahli.

5. Komisi Independen Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Agar Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) dapat menjalankan tugas dan fungsinya, maka diperlukan :
a. Dukungan politik dari pemerintahan;
b. KPTPK harus lepas dari kendali politik kekuatan legislatif dan eksekutif;
c. Memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tugasnya;
d. Memiliki pemimpin dan anggota yang memiliki integritas yang tinggi;
e. Memiliki pemimpin dan anggota yang punya komitmen dan strategi yang jelas dalam memberantas korupsi;
f. Memiliki keberanian untuk menindak pelaku korupsi dan keberanian untuk mengambil alih tugas kepolisian dan/atau kejaksaan terhadap kasus korupsi yang terlaksana; dan
g. Memiliki pertanggungjawaban yang jelas kepada publik dan kerelaan untuk melepas jabatan bila tidak mampu melaksanakan tugas.
6. Media yang Independen dan Bebas
Informasi adalah kekuasaan. Semakin banyak orang yang memiliki informasi, pembagian kekuasaan semakin luas. Tanpa informasi, masyarkaat tidak dapat menjalankan haknya karena masyarakat tidak tahu tak-haknya telah dilanggar. Peran dari media akan efektif jika :
a. Media cukup independen dan wartawan terbebas dari bentuk campur tangan apa pun dalam menjalankan profesinya;
b. Adanya jaminan perlindungan keamanan dan penegakan hak-hak bagi wartawan dari undang-undang dalam menjalankan profesinya;
c. Adanya perlindungan hukum terhadap sumber yang mengungkap kasus dugaan korupsi; dan
d. Jurnalis memiliki kapasitas memadai untuk melakukan invertigasi kasus-kasus korupsi.
7. Masyarakt Sipil
Masyarakat sipil diartikan sebagai jumlah keseluruhan dari organisasi-organisasi yang berada di luar sturktur formal pemerintahan. Masyarakat sipil mendapat legitimasi kuat dari publik jika melakukan aktivitas yang bertujuan untuk memajukan kepentingan publik.
Masyarakat yang memiliki informasi dan sadar mengenai hak-haknya dan berusaha menegakkan hukum untuk memperjuangkan hak-haknya tersebut. Sedangkan masyarakat yang apatis dan bersikap menyerah pada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah merupakan lahan yang subur bagi koruptor untuk menjalankan atau melakukan perbuatan korupsi.